Posted by : Ikrar Hesa Prasetya
Wednesday, May 23, 2012
Entah harus dari mana kumulai kata
pembuka hatiku. Setiap kali aku bertemu denganmu, aku selalu saja
seperti terhipnotis, kamu membuatku lupa akan segalanya. Wajahmu selalu
saja hadir dan menimbulkan akan rasa lupa yang membingungkan pada
wajah-wajah wanita lain yang pernah kucintai sebelumnya, begitu kuatnya.
Aku tak pernah tahu dari jurusan mana
kamu datang. Tiba-tiba kamu hadir begitu saja, membawa keremangan
takdirku. Kamu membekap hatiku dalam kebimbangan cinta—tanpa arah, tanpa
tujuan pasti, tapi aku suka. Entah kamu anugerah ataukah mungkin malah
penderitaanku.
Aku ingat ketika pertama kali
mengenalmu. Perpustakaan adalah kata kuncinya. Entah kenapa aku selalu
memilih meja dan kursi yang sama demi membaca buku, mungkin karena tata
letaknya yang dekat dengan jendela hingga aku bisa merasakan sepoi angin
membelaiku. Saat itu kutemukan sebuah buku agenda di atas meja tempat
biasanya aku membaca buku-buku perpustakaan. Kubuka lembaran pertama
buku agenda itu. Nama dan nomor handphone pemiliknya tertulis jelas pada
lembaran pertama. Dari situlah akhirnya aku mengenalmu—kamu adalah
pemilik buku agenda itu.
Paling tidak seminggu dua kali kita
selalu menyempatkan diri untuk bertemu di perpustakaan, di meja yang
sama. Kita selalu membahas bacaan yang sama, sajak yang sama, novel yang
sama, filsafat yang sama. Tapi kita tidak pernah membahas tentang cinta
yang sama.
Padahal ingin sekali aku mendongengkan
tentang cerita kerajaan hatiku padamu. Ingin sekali aku berlutut
didepanmu dan meneriakkan yel-yel di perpustakaan ini ”Aku cinta padamu
Laras, aku sayang padamu Laras….”, tanpa peduli dengan tulisan ’harap
tenang’ yang tertempel disetiap sudut temboknya, tanpa peduli pada
amukan penjaga perpustakaan yang matanya melotot seperti penjagal
berdarah dingin dan suaranya yang seperti petir menggelegar itu.
Namun mulutku selalu saja terkunci,
lidahku kelu. Entah kenapa tubuhku selalu bergetar, menggigil dalam
euforia dan ketakutan bercampur baur. Ungkapan hatiku selalu saja
terhalang dengan kepengecutanku. Ataukah karena aku takut kamu tolak?
Ataukah karena aku tak berhasrat untuk
menyatakan cinta? Karena aku sering merasa seolah-olah jiwaku, dalam
dunia kehidupan khayalku, berdekatan sangat erat denganmu, jiwaku dan
jiwamu dengan esensi dan substansi yang sama, telah ditakdirkan untuk
bersama, dan itu telah cukup bagiku — apakah aku seorang pecinta yang
bodoh?
Hari itu di tempat biasa kita bertemu,
kamu menyodorkan potret seorang lelaki kepadaku. Ah, hatiku serasa
dilandai badai. Dia tampan, katamu. Tapi aku hanya diam membisu kelu tak
berbahasa dalam kata. Kutatap potret itu, entah kenapa hatiku
sepertinya sedih, tapi disisi lain aku bahagia. Sedih karena teriris
perih ngilu pilu disayat sembilu luka cinta. Dan bahagia jika kamu
memang telah menemukan kebahagian bersama lelaki pilihanmu.
Kukembalikan potret itu ke dalam
tanganmu, kuberikan gurat senyum paksa. Lantas kamu menyimpannya kembali
kedalam dompetmu, kusimpan pula lembaran hatiku jauh dalam almari
angan-angan.
”Gimana tampan kan?” tanyamu lagi.
Rupanya kamu seorang gadis yang butuh penegasan. Aku hanya menjawab
dengan anggukan setengah terpaksa saja.
”Namanya Raka. Kemarin dia menyatakan cintanya kepadaku. Dan aku menerimanya.”ucapmu.
”Hmmm…bagus itu.”komentarku datar.
Bibirku tersungging meski hatiku tersinggung pedih sakit. Tapi aku tidak
boleh kelihatan sedih didepanmu. Aku harus tegar sekuat batu karang
yang kokoh tak bergeming dilanda ombak yang mengganas. Walaupun
ketegaranku cuma pura-pura belaka.
Setelah itu kamu tidak pernah lagi ke
perpustakaan, kamu menghilang. Bahkan nomor handphonemu pun tidak aktif.
Apakah karena kamu sudah menemukan tambatan hatimu si Raka itu, lantas
kamu melupakanku begitu saja? Setidaknya aku hanya ingin kamu anggap
sebagai temanmu, karena sudah tidak mungkin lagi aku berharap menjadi
cintamu.
***
Sudah dua bulan. Tidak! Persisnya
sebulan lebih dua puluh hari sejak aku kehilangan kamu. Namun kenangan
kerlingan sepasang mata dan senyum lesung pipitmu begitu
menghanyutkanku. Dari bangku perpustakaan inilah selalu kuperhatikan
wajahmu nan ayu ketika kita duduk saling berhadapan.
Bibirmu yang begitu ranum dan setengah
membuka saat membaca buku. Sepertinya bibir itu baru saja terlepas dari
ciuman panjang dan hangat yang belum terpuaskan. Helai-helai rambutmu
yang panjang hitam legam lurus terurai bergerak disaput sepoi angin
nakal yang muncul dari jendela, sehingga seringkali kamu berusaha untuk
menyibaknya kembali ke belakang jika rambut indahmu menyapa nakal
permukaan wajahmu yang ayu.
Ketenanganmu membaca buku, gemulai
tanganmu yang membolak-balik buku memperlihatkan sifat alami yang tak
terbatasi ruang dan waktu. Ah aku sepertinya tidak akan sanggup
melupakanmu. Hakikat esensi dirimu yang lembut telah menciptakan rasa
pengabdian yang begitu kokoh dalam sisi kejantananku.
Kamu telah terlanjur membuat hatiku
terbakar dan meleleh perlahan menyakitkan. Kamu membuat lidahku tak lagi
merasa nikmat mengecap rasa makanan yang kata orang-orang begitu lezat.
Tahukah kamu aku selalu memikirkan hal yang sama setiap hari setelah
kamu menghilang. Apakah kini mungkin bagiku untuk benar-benar berhenti
menatapmu?
Mungkinkah aku akan benar-benar
melupakanmu? Tapi semuanya itu berlangsung diluar kendaliku. Sebulan
lebih dua puluh hari aku selalu mengelilingi perpustakaan ini, begitu
seringnya, hingga aku dapat mengenali tata letak semua buku yang ada di
rak perpustakaan ini melebihi pengetahuan penjaga perpustakaan ini.
Namun terlepas betapa aku telah menunggumu dan mencarimu di perpustakaan
ini, semuanya sia-sia belaka. Aku selalu saja kalah.
***
Hari ini seperti biasanya kulewatkan
waktu istirahat siangku dengan membaca di perpustakaan. Dari jendela
yang terbuka aku dapat menatap hujan yang turun. Dalam cuaca hujan aku
merasa bebas dan santai, seolah-olah tetes titik hujan membasuh
pikiran-pikiran sedihku.
Akan tetapi, hari ini aku merasa ada
suatu perasaan istemewa yang mengendap dalam ceruk mataku masuk
menjelajahi pikiranku. Kulihat sosok wanita berpakaian putih, laksana
seorang malaikat berjalan menuju arahku. Lantas wanita itu berdiri
didepanku. Kudongakkan kepalaku memandangnya. Kerlingan sepasang mata
dan senyum lesung pipit itu, tidak mungkin kulupa. Itu kamu. Ya, itu
kamu.
Aku tetap duduk. Aku terdiam bagai batu
gapura candi, merasa bagaikan seorang yang bermimpi dan tidak ingin
bangun dari mimpinya. Aku merasa mendapatkan suatu kepuasan yang tak
terungkapkan—seperti seorang anak kecil yang bahagia karena dibelikan
kembang gula oleh ibunya.
Kamu mengambil tempat duduk, lalu duduk
dihadapanku. Jantungku berhenti berdetak. Kutahan nafasku karena cemas
kalau-kalau nafasku akan membuatmu menghilang lagi, minggat dari
keberadaanmu, seolah-olah kamu adalah kepulan asap rokok yang biasanya
kuhisap nikmat.
”Bagaimana kabar kamu?” tanyamu mengawali pembicaraan.
Wajahmu menunjukkan ekspresi tenang. Tapi matamu seolah menyembunyikan sesuatu.
”Aku baik-baik saja” jawabku.
Keringat dingin membasahi dahiku. Kusapu dengan ujung lengan bajuku.
”Aku tahu kamu selalu berada di
perpustakaan ini. Aku hendak memberikan ini kepadamu.”katamu seraya
menyodorkan sebuah undangan pertunangan. Tertera namamu dan Raka di
bagian depannya. Aku bisa membaca isinya walau aku tidak membukanya.
”Selamat ya…”ucapku menyembunyikan sedih.
Kusodorkan tanganku hendak menyelamati kamu. Tapi kamu menampiknya. Lantas aku hanya terdiam. Aku sungguh tidak mengerti.
”Hugghhh…Ternyata selama ini aku bodoh…”katamu.
”Bodoh?” tanyaku penasaran.
”Ya, aku bodoh, aku mengira kamu mencintaiku.”
Kutundukkan wajahku.
”Kamu tidak bodoh, aku memang mencintaimu.”ujarku lirih hingga seperti sebuah bisikan saja.
Entah mengapa kamu malah menangis terisak.
”Kenapa kamu baru mengatakannya sekarang? Kenapa tidak sedari dulu sewaktu kita bertemu.?” ucapmu.
”Aku…a..ku…aku takut kamu tolak.”
”Tahu tidak?! Untuk berkenalan denganmu
aku sengaja menaruh buku agendaku di atas meja perpustakaan tempat
biasanya kamu membaca buku, tujuanku supaya kamu bisa menemukannya dan
mengembalikannya kepadaku. Sudah lama aku melihatmu di perpustakaan ini.
Sudah lama aku diam-diam mencintaimu, bahkan sebelum kita berkenalan.
Tapi mengapa kamu hanya diam saja, bahkan saat Raka hadir dalam
kehidupanku? Wanita itu butuh ketegasan dari laki-laki!”isakmu.
Aku sungguh kaget dengan penuturanmu. Benarkah itu semua? Kalau begitu selama ini aku sungguh bodoh sekali.
”Tapi kini semuanya sudah terlambat. Tidak ada kesempatan lagi untukku.”kataku sambil kutatap undangan darimu.
”Rio…Tidak ada kata terlambat! Betapapun
Dewi fortuna adalah sosok perempuan yang berkenan hanya terhadap
laki-laki yang berani, punya nyali dan mampu menguasai setiap
kesempatan, bukan laki-laki yang hanya diam dan menyerah kalah!”serumu
memecah kebimbangan hatiku.
Aku segera tersadar, lantas aku berlutut
didepanmu dan meneriakkan gema yel-yel dalam perpustakaan ”Aku cinta
padamu Laras, aku sayang padamu Laras….”, tanpa peduli dengan tulisan
’harap tenang’ yang tertempel disetiap sudut temboknya, tanpa peduli
pada amukan penjaga perpustakaan yang matanya melotot seperti penjagal
berdarah dingin dan suaranya menggelegar seperti petir mengancamku untuk
tenang dan diam.
Kamu hanya mendekapku dalam tangisan.
Entah mengapa aku sangat bahagia sekali saat kamu membisikkan ”bawalah
aku pergi dalam duniamu, dalam kerajaan hatimu…” Ternyata selama ini
kita benar-benar berada dalam cinta yang sama. Bukan hanya dalam
khayalanku saja.
Kini aku tak tahu darimana harus kumulai
kata untuk meminangmu. Memintamu menjadi pendamping hidupku, bukan
sekedar pacar. Tapi sebelumnya biarkanlah aku dongengkan perihal
kerajaan hatiku kepadamu — dimana rajanya adalah aku dan permaisurinya
adalah kamu.
*****Pepatah
Ungkapan perasaan cinta
memang bukan hanya sekadar kata, namun cinta dapat pula diungkapkan
dengan genggaman tangan yang erat namun lembut, pun tatapan hangat namun
tajam setajam isi hati. Tetapi itu bukanlah alasan bahwa kamu boleh
memendam perasaan cinta.
Cinta harus diungkapkan
dengan perkataan, karena cinta butuh kepastian. Kepastian yang
menyatakan isi hati. Ketahuilah, perkataan adalah sosok yang paling
mampu untuk mewakili isi hati, karena sedekat apapun kamu dengan
seseorang, kamu tidak akan pernah mengetahui isi hatinya.
Berani dan jujurlah dengan
perasaanmu. Singkirkan rasa takutmu, karena pada hakekatnya, cinta
hanyalah untuk mereka yang berani, bukan mereka yang pengecut, yang
hanya bisa memuji dalam hati, mengagumi dalam mimpi.
sumber:pepatah.com